PENGARUH BATAS USIA MINIMUM PERKAWINAN PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP PENETAPAN DISPENSASI KAWIN DI PENGADILAN AGAMA LUMAJANG

NOVRIYANSYAH, HAMMMA FAIQUL MUHAMMAD (2023) PENGARUH BATAS USIA MINIMUM PERKAWINAN PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP PENETAPAN DISPENSASI KAWIN DI PENGADILAN AGAMA LUMAJANG. Undergraduate thesis, Universitas Muhammadiyah Jember.

[img] Text
A. PENDAHULUAN.pdf

Download (1MB)
[img] Text
B. ABSTRAK.pdf

Download (674kB)
[img] Text
C. BAB I.pdf

Download (2MB)
[img] Text
D. BAB II.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (720kB) | Request a copy
[img] Text
E. BAB III.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (784kB) | Request a copy
[img] Text
F. BAB IV.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (526kB) | Request a copy
[img] Text
G. DAFTAR PUSTAKA (1).pdf

Download (645kB)
[img] Text
H. ARTIKEL.pdf

Download (981kB)

Abstract

PENGARUH BATAS USIA MINIMUM PERKAWINAN PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP PENETAPAN DISPENSASI KAWIN DI PENGADILAN AGAMA LUMAJANG Oleh : M. Faiqul Hammam Novriansyah, NIM : 1610112009 Pembimbing : Muh. Iman, S.H, M.H. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember Jl. Karimata No.49 Jember 68121 Email : www.unmuhjember.ac.id Abstrak Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, sebagai suatu perbuatan hukum maka subjek hukum yang melakukan suatu peristiwa tersebut harus memenuhi syarat. Salah satu syarat manusia sebagai subyek hukum untuk dapat dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah harus sudah dewasa, sedangkan ketetapan batas usia anak yang terdapat dalam kontruksi perundang-undangan di Indonesia bervariasi. Demikian pula batas usia berkatian dengan hak-hak yang diberikan kepada seseorang ketika ia dianggap mampu atau cakap untuk bertindak di dalam hukum dalam hal ini kaitannya dalam melangsungkan perkawinan. Perkawinan tidak hanya ikatan lahir batin atau ikatan batin saja, tetapi adanya ikatan antar keduanya. Ikatan lahir batin dalam perkawinan berarti diantara suami dan istri yang bersangkutan harus ada niat yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal. Umumnya setiap orang yang hendak berkeluarga pasti kelak rumah tangganya ingin berjalan dengan harmonis. Kata Kunci : Perkawinan, Belum Dewasa Abstract Marriage is a legal act, as a legal act, the legal subject who conducts an event must meet the requirements. One of the requirements of humans as legal subjects to be able to be declared capable of carrying out legal actions is to be mature, while the determination of the age limit of children contained in the construction of legislation in Indonesia varies. Likewise, the age limit relates to the rights given to someone when he is considered capable or capable of acting in law in this case the relation in carrying out marriage. Marriage is not only an inner bond or an inner bond, but a bond between the two. Inner birth ties in marriage mean that between the husband and wife in question there must be a genuine intention to create a happy and eternal family. Generally every person who wants to have a family is certain that his household will want to walk harmoniously. Keywords : Mariage, Imature People I. Pendahuluan Perkawinan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjamin kelangsungan sebuah keluarga. Agar perkawinan terjadi kelangsungannya dan mempunyai kepastian hukum, maka perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaan serta dicatatkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan tidak hanya ikatan lahir batin atau ikatan batin saja, tetapi adanya ikatan antar keduanya. Ikatan lahir batin dalam perkawinan berarti diantara suami dan istri yang bersangkutan harus ada niat yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal. Umumnya setiap orang yang hendak berkeluarga pasti kelak rumah tangganya ingin berjalan dengan harmonis. Terkait demikian, pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sudah dijelaskan adanya beberapa syarat untuk melangsungkan perkawinan salah satunya adalah batas umur dalam melangsungkan suatu perkawinan. Batas umur dalam melangsungkan perkawinan telah ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Selain itu dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur calon mempelai tepatnya di dalam Pasal 15 ayat (1) yaitu bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, pernikahan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai usia yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni calon istri sekurang-kurangnya berusia 16 (enam belas) tahun. Pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga dijelaskan adanya beberapa prinsip mengenai perkawinan yaitu salah satunya untuk melangsungkan perkawinan calon suami harus sudah matang baik jiwa maupun raganya. Terkait hal ini maksudnya perkawinan sendiri memiliki tanggung jawab yang sangat besar, pada saat perkawinan dilakukan di usia dini akan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran karena terkadang masih ada pemikiran yang belum dewasa dari pasangan suami istri. Perkawinan yang ideal harusnya membutuhkan kedewasaan tanggungjawab secara fisik maupun mental untuk bisa mewujudkan rumah tangga yang ideal dan kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari karena karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai arti dari tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin pada pasangan itu sendiri. Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang sudah memberlakukan batas usia bagi laki-laki 19 (sembilan belas) tahun dan bagi perempuan 16 (enam belas) tahun untuk melangsungkan perkawinan namun pada prakteknya masih banyak kasus-kasus pernikahan untuk orang yang belum dewasa. Seperti contoh kasus yang dilakukan oleh Awal Rahman dan Awalia Mar’ah yang masih berusia 14 (empat belas) tahun keduannya berasal dari Desa Borong Rappoa, Kecamatan Kindang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Alasan mereka melangsungkan perkawinan didasarkan pada perasaan suka sama suka dan keduanya sudah menjalin hubungan asmara selama 2 tahun lamanya, sehingga orang tua juga memberikan izin mereka untuk melangsungkan perkawinan. Hal serupa juga terjadi kepada pasangan Slamet Riyadi dan Rohaya yang berasal dari kecamatan Lengkiti, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan yang melangsungkan pernikahan pada 2 Juli 2017 lalu, diketahui Slamet Riyadi masih berusia 16 (enam belas) tahun dan Nenek Rohaya sendiri yang sudah berusia 71 (tujuh puluh satu) tahun. Alasan mereka melangsungkan perkawinan pun atas dasar suka sama suka dan Slamet Riyadi sendiri merasa mendapatkan kebahagiaan, kenyamanan, dan merasa dikasihi oleh Nenek Rohaya. Slamet Riyadi juga mengancam akan bunuh diri jika tidak diijinkan menikah dengan Nenek Rohaya. Kasus serupa juga terjadi di Sulawesi Barat pada pasangan Arlin yang berusia 17 (tujuh belas) tahun dan Andini yang berusia 15 (lima belas) tahun alasan mereka melangsungkan perkawinan juga sama dengan kasus-kasus sebelumnya yaitu atas dasar perasaan suka sama suka. Orang tua Arlin dan Andini sendiri menyetujui jika kedua anaknya melangsungkan perkawinan karena menganggap keduanya sudah sangat dekat dan menurutnya sudah sah menurut agama dan adat. Melihat kasus tersebut masyarakat menganggap sebagian orang yang melangsungkan perkawinan dianggap sah jika menuruti syarat dan rukum agama. Pada Al-Qur’an sendiri persyaratan umum yang lazim dikenal untuk melangsungkan perkawinan adalah sudah baliq, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dan buruk sehingga dapat memberikan persetujuan untuk menikah. Karena masalah pernikahan disamping wilayah ibadah juga merupakan hubungan antar manusia yang oleh agama hanya diatur dalam prinsip-prinsip umum. Sementara perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, sebagai suatu perbuatan hukum maka subjek hukum yang melakukan suatu peristiwa tersebut harus memenuhi syarat. Salah satu syarat manusia sebagai subyek hukum untuk dapat dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah harus sudah dewasa, sedangkan ketetapan batas usia anak yang terdapat dalam kontruksi perundang-undangan di Indonesia bervariasi. Demikian pula batas usia berkatian dengan hak-hak yang diberikan kepada seseorang ketika ia dianggap mampu atau cakap untuk bertindak di dalam hukum dalam hal ini kaitannya dalam melangsungkan perkawinan. II. Hak Bagi Orang Yang Belum Dewasa Melangsungkan Perkawinan Undang-Undang Perkawinan menitik beratkan sahnya perkawinan pada dua unsur, yaitu ; perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang (hukum negara) dan hukum agama. Artinya kalau perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang negara tanpa memperhatian ketentuan-ketentuan agama perkawinan tersebut tidak sah, demikian juga sebaliknya. Peran serta pemerintah dalam kegiatan perkawinan adalah dalam hal menyangkut proses administratif, di mana perkawinan harus dicatatkan sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Untuk menjembatani antara kebutuhan kodrati manusia dengan pencapaian esensi dari suatu perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menetapkan dasar dan syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun tentang Perkawinan yang berbunyi : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Demikian halnya, sangat jelas tercantum dalam ketentuan Pasal 26 ayat 1 butir c Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan yang harus menjadi perhatian bersama, hal ini disebabkan anak-anak yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa. Oleh karena itu, ditentukan batas umur untuk melaksanakan perkawinan yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. Namun dalam keadaan yang sangat memaksa, perkawinan di bawah batas umur minimum sebagaimana dalam Undang-undang Perkawinan dimungkinkan setelah memperoleh dispensasi dari Pengadilan atas permintaan orang tua. Pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 2 menjelaskan bahwa perkawinan itu sendiri sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, juga menjadi sebuah legalitas bagi seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan di usia dini. Ketentuan batas umur ini didasarkan pada kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Adanya ketentuan ini jelas menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat karena dalam Al-Quran dan Al-Hadis yang merupakan sumber dari Hukum Islam sendiri tidak memberikan ketetapan yang jelas dan tegas tentang batas minimal perkawinan. Mengenai hal ini tentang kasus perkawinan orang yang belum dewasa dapat difahami apa yang dimaksud dengan perkawinan dan apakah ada hak bagi orang yang belum dewasa untuk melangsungkan perkawinan. Pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan pengertian tentang perkawinan itu sendiri yaitu pada Pasal 1 yang berbunyi “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dari penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dikatakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan itu sendiri harus didasari oleh perasaan yang intim antara pria dan wanita untuk membentuk suatu keluarga yang harmonis dan tentunta bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Terkait demikian perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja memiliki usur jasmani atau unsur rohani, tetapi unsur batin juga memiliki peran yang cukup penting dalam sebuah perkawinan. Pengertian dari “nikah” dapat diartikan akad yang menghalalkan peraturan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu pertalian suami istri. Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32 menjelaskan dasar hukum tentang nikah yang berbunyi : “Dan nikahkanlah orang-orang yang membujang diantara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberimu kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) Maha Mengetahui” Pada dalam Al-Qur’an juga dinyatakan bahwa berkeluarga itu termasuk sunah Rasul-Rasul sejak dahulu sampai Rasul terakhir Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tercantum dalam surat Ar-Ra’d ayat 38, yang artinya : “ dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan-keturunan” Selain diatur dalam Al-Qur’an terdapat juga hadis Rasul yang menyangkut dengan hukum nikah, yaitu seperti yang diriwayatkan Jama’ah ahli hadis dan Imam Muslim yaitu : “Dan aku mengawini wanita-wanita, barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukan umatku” Hadist lainnya seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim Ibn Abbas : “Hai pra pemuda barang siapa yang telah sanggup diantaramu untuk nikah maka nikalah karena sesungguhnya nikah itu dapat mengurangi pandangan (yang liar) dan lebih menjaga kehormatan” Berkeluarga yang baik dapat dicapai melalui batin yang baik, maka Islam sendiri menilai berkeluarga yang baik itu menungjang kita untuk menuju kepada kesejahteraan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Ibnu Rusyd seperti yang dikutip oleh Abdul Rahman Ghozali menjelaskan bahwa segolongan fuqaha yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah, para ulama Malikiyah Mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang sunnah untuk sebagian orang lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Terlepas dari pendapat imam-imam Mazhab, Al-Qur’an maupun Aa-Sunnah itu sendiri sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Terkait demikian apabila dilihat dari sisi lain yaitu dari sisi orang yang melaksanakannya, maka melakukan pernikahan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, ataupun mubah, apabila dilakukan dengan niat masing-masing, sebagaimana diuraikan berikut : 1) Melakukan pernikahan yang hukumnya wajib Bagi orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah dan akan dikawatirkan akan terjerumus pada perbuatan zina seandainya tidak menikah maka hukum untuk melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukun bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat terlarang. Hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut merupakan hukum sarana sama dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat. 2) Melakukan pernikahan itu yang hukummnya sunnah Terhadap seseorang yang keadaan hidupnya sederhana dan mempunyai kesanggupan untuk menikah sedang dia tidak kawatir jatuh pada perzinahan. Jika ia mempunyai keinginan untuk menikah dengan niat memelihara diri dan atau mendapat keturunan maka hukum nikah baginya sunnah. 3) Melakukan Pernikahan Itu Yang Hukumnya Haram Bagi seseorang yang tidak memiliki keinginan ataupun kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarnyah dirinya dan istrinya. Termasuk juga hukumnya haram apabila seseorang menikah dengan maksud untuk menelantarkan orang lain misalnya wanita yang dinikahi itu tidak diurus dengan alasan agar wanita itu tidak menikah dengan pria lain 4) Melakukan Pernikahan Itu Yang Hukumnya Mubah Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya tidak khawatir akan berbuat zinah dan apabila melakukannya juga tidak menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan untuk memenuhi tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga yang sejahtera. Hukum Mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambat untuk menikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan bagi orang yang melangsungkan pernikahan seperti sudah memiliki keinginan namun belum ada kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat. 5) Melakukan Pernikahan Yang Hukumnya Makruh Bagi orang yang menikah dan seseorang itu kawatir istrinya akan teraniaya, akan tetapi kalau tidak melangsungkan perkawinan dia khawatir akan jatuh pada perzinahan, karena bertengtangan dengan hak Allah dan hak manusia maka hak manusia itu diutamakan dan orang ini wajib mengekang nafsunya supaya tidak berzina. Makruh kawin bagi seseorang yang lemah sahwatnya dan tidak mampu memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Makruh bagi seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak tetapi belum ada biaya untk hidup sehingga kalau dia kawin hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya. Jika seseorang dalam kondisi demikian kawin, maka tidak berdosa dan tidak mendapat pahala. Jika tidak kawin karena pertimbangan tersebut makan akan mendapat pahala. Pemberian dispensasi nikah oleh Pengadilan dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yang sering terjadi di masyarakat adalah dengan alasan kedua calon mempelai sudah berhubungan atau berpacaran sudah cukup lama dan sudah pernah berhubungan badan sehingga calon istri sudah hamil duluan. Peran orang tua disini sangat penting dengan kejadian seperti ini berarti orang tua tidak dapat mengontrol atau membatasi pergaulan anak ketika sang anak sedang berada dari jangkauan orang tua. Hal tersebut ditegaskan dalam ketentuan Pasal 26 ayat 1 butir c Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Undang-undang sendiri tidak menyebutkan adanya hak atau alasan-alasan dalam pengajuan dispensasi perkawinan. Firman Allah SWT memandang bahwa perkawinan adalah salah satu perintah agama kepada seseorang laki-laki dan perempuan yang mampu dalam hal ini adalah generasi muda (al-syahab) untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan sendiri dpat memelihara diri dari perbuatan zinah. Menurut Mahmud Yunus dalam bukunya Hukum Perkawinan dalam Islam menjelaskan bahwa tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah di dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan juga teratur dan tujuan perkawinan adalah agar suami dan istri bisa tinggal dirumah dengan damai dan saling mencintai antara satu dengan yang lainnya. Terkait demikian, pada kasus dispensasi perkawinan ini faktor yang sangat dominan adalah kekhawatiran orang tua akan anaknya yang sudah terlalu intim dalam menjalin sebuah hubungan sehingga kehawatiran anakanya untuk melakukan zinah itu semakin besar. Kesadaran hukum dari para orang tua ini patut dihargai dan dapat dijadikan sebagai pertimbangan yang cukup kuat untuk mengabulkan permohonan dispensasi usia perkawinan. Hakim dalam hal ini harus berlaku adil terhadap mereka yang rela datang ke Pengadilan Agama meluangkan waktu dan mngeluarkan biaya untuk melakukan dispenszsi umur perkawinan. Pemberian dispensasi perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (2) ini tentunya memberikan hak kepada anak yang belum dewasa untuk melangsungkan perkawinan didasarkan pada tujuan, alasan dan sebab-sebab diajukannya permohonan Dispensasi Pernikahan di Pengadilan agama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan dengan tujuan agar seluruh masyarakat Indonesia dapat melaksanakan perkawinan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah membatasi usia dalam melangsungkan perkawinan. Terkait demikian, pada kenyataannya masih banyak dan mungkin sering terjadi perkawinan untuk orang yang belum dewasa atau biasa disebut perkawinan dibawah umur sebagaimana dengan dijelaskan dalam pasal 7 ayat (2) tentang dispensasi perkawinan. Adanya dispensai ini secara otomatis dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk melangsungkan perkawinan di bawah umur. III. Pengaturan Hukum di Indonesia dalam Hal Perkawinan Orang Yang Belum Dewasa Setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus didukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum. Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Kecakapan seseorang bertindak di dalam hukum atau untuk melakukan perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belumnya seseorang tersebut dika takan dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolok ukur dalam menentukan apakah seseorang tersebut dapat atau belum dapat dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya seseorang menurut hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum yang ditentukan dengan batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam melakukan segala perbuatan hukum. Keadaan dewasa yang memenuhi syarat undang-undang ini disebut “kedewasaan”. Orang dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu melakukan semua perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, melakukan perkawinan, dan membuat surat wasiat. Setiap perbuatan hukum menimbulkan suatu akibat hukum antara suami dan isteri setelah perkawinan itu dilaksanakan. Sebagaimana yang terjadi pada perkawinan anak di bawah umur. Anak di bawah umur yang mendapat dispensasi nikah boleh melaksanakan perkawinan walaupun usianya masih di bawah umur, sehingga akibat hukum setelah anak melakukan perkawinan di bawah umur yaitu anak tersebut telah dianggap dewasa dan dianggap cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum atau ia tidak berada di bawah pengampuan orangtuanya lagi. Setelah anak melakukan perkawinan kemudian anak itu hamil dan melahirkan seorang anak, maka anak tersebut menjadi anak sah sebagai akibat ia dinikahkan. Terkait demikian apabila anak itu dinikahkan kemudian anak itu lahir sebagai anak sah, maka timbullah suatu hubungan perdata antara orang tua dan anak terhadap harta perkawinan. Maksud anak sah di sini adalah karena pada saat ia lahir ia mempunyai ayah dan ibu dan dari hasil pernikahan yang sah pula. Contoh kasus yang berkaitan dengan skripsi ini yaitu yang terjadi pada Awal Rahman dan Awalia Mar’ah yang masih berusia 14 (empat belas) tahun keduannya berasal dari Desa Borong Rappoa, Kecamatan Kindang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Alasan mereka melangsungkan perkawinan didasarkan pada perasaan suka sama suka dan keduanya sudah menjalin hubungan asmara selama 2 tahun lamanya, sehingga orang tua juga memberikan izin mereka untuk melangsungkan perkawinan. Contoh kasus kedua juga terjadi kepada pasangan Slamet Riyadi dan Rohaya yang berasal dari kecamatan Lengkiti, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan yang melangsungkan pernikahan pada 2 Juli 2017 lalu, diketahui Slamet Riyadi masih berudia 16 (enam belas) tahun dan Nenek Rohaya sendiri yang sudah berusia 71 (tujuh puluh satu) tahun. Alasan mereka melangsungkan perkawinan pun atas dasar suka sama suka dan Slamet Riyadi sendiri merasa mendapatkan kebahagiaan, kenyamanan, dan merasa dikasihi oleh Nenek Rohaya. Slamet Riyadi juga mengancam akan bunuh diri jika tidak diijinkan menikah dengan Nenek Rohaya. Terkait contoh kasus tersebut, terdapat juga contoh kasus lain yang terjadi di Sulawesi Barat pada pasangan Arlin yang berusia 17 (tujuh belas) tahun dan Andini yang berusia 15 (lima belas) tahun alasan mereka melangsungkan perkawinan juga sama dengan kasus-kasus sebelumnya yaitu atas dasar perasaan suka sama suka. Orang tua Arlin dan Andini sendiri menyetujui jika kedua anaknya melangsungkan perkawinan karena menganggap keduanya sudah sangat dekat dan menurutnya sudah sah menurut agama dan adat. Mengenai hal demikian terkait dengan contoh kasus tersebut, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa padahal dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah ditegaskan batas umur untuk seseorang dapat melangsungkan perkawinan. Salah satu pelanggaran ini adalah kasus-kasus perkawinan di bawah umur, sementara yang kita tahu perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Sebagai suatu peristiwa hukum maka subjek hukum yang melakukan peristiwa tersebut harus memenuhi berbagai syarat. Salah satu syarat manusia dapat dikatakan sebagai subjek hukum untuk dapat dikatakan cakap dalam melakukan perbuatan hukum adalah harus sudah dewasa. Sudut pandang yang berbeda mengenai batas usia perkawinan dapat disebabkan oleh pemahaman dari Al-Qur’an maupus hadis, konstekstual sudut pandang budaya, kultur, kesehatan, psikologis juga sebagai salah satu pemahaman yang masih digunakan.Ulama fiqih klasik menyatakan seseorang yang akan menikah yaitu telah balig indikator balig disini memiliki arti kematangan fisik yaitu menstruasi bagi anak perempuan dan mimpi basah bagi anak laki-laki. Orang tua atau wali dapat diberi hak untuk menikahkan anak yang belum baligh, sedangkan ulama kontemporer memahaminya secara konteksual sehingga perlu adanya perubahan untuk memandang persoalan tersebut dari berbagai macam aspek yaitu aspek kesehatan, aspek psikologis, dan aspek budaya, para kelompok tradisional memahami perkawinan berdasarkan pemahaman yang kaku dan rigid, padahal hadis tersebut dapat dipahami kebolehan secara khusus (lex spesialis) dan bukan kebolehan umum (lex generalis). Hamka berpendapat bahwa bulug al-nikah dapat diartikan dengan dewasa kedewasaan sendiri disini bukan berarti bergantung pada umur namun bergantung pada kecerdasan pikiran, karena ada juga anak yang usianya belum dewasa tetapi cerdik dibandingkan orang yang lebih dewasa darinya dan ada juga yang telah mencapai usia dewasa namun pemikirannya belum matang. Penafsiran Hamka disini lebih mengartikan bahwa batasan umur menjadi penilaian relatif karena melihat setiap anak pasti berbeda pemikiran dan perkembangannya, oleh karena itu kecerdasan atau kedewasaan pikiran menjadi syarat utama sampai waktu menikah. Zaki Fuad Khalil berpendapat bahwa pendapat dalam penafsiran tersebut karena perbedaan sudut pandang, Ibnu Katsier mengambil poin penting pada segi fisik lahiriah dan sekaligus telah mukalaf sedangkan Hamka menitikberatkan pada segi mental yang berarti dilihat dari sikap dan tingkah laku seseorang, pendapat ulama kontemporer ini lebih konstrukstif jika dilihat penjelasannya bahwa menikah tidak hanya menitikberatkan pada ciri-ciri fisik (balig) saja tetapi menitikberatkan juga pada kesempurnaan akal dan jiwanya (rusyd). Terkait demikian perkawinan tidak hanya membutuhkan hanya pada kematangan fisik atau biologis tetapi juga dilihat dari kematangan psikologis, sosial, dan agama bahkan juga dapat dilihat dari kematangan intelektual yang dimiliki. Kematangan usia dalam perkawinan juga bisa dikatakan ideal jika diakumulasi dari berbagai aspek sehingga seseorang dianggap siap untuk hidup berumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan pengertian perkawinan itu sendiri dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan merupakan persoalan fiqih, namun fiqih sangat terikat dengan kondisi sosial dan budaya suatu masyarakat dimana fikih itu diberlakukan, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara fiqih yang dimaksud adalah Undang-Undang, sepanjang hal itu telah dikukuhkan oleh negara, disini fiqih-yang telah dikukuhkan negara tersebut meniadakan keberlakuan fikih-fikih lain sekaligus bersifat mengikat bagi semua warga negara. Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa perbuatan yang didasarkan pada fi1ih-fiqih tertentu yang berbanding terbalik dengan ketentuang Undang-Undang di negara. Terkait kasus yang dicontohkan tersebut, juga perlu dibahas dampak dari perkawinan di bawah umur itu sendiri. Dampak perkawinan di usia muda akan menimbulkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. M. Fauzi Adham (2001) menjelaskan dampak dari perkawinan udibawah umur ini adalah: a. Dampak terhadap suami istri M.Fauzi Adham menyatakan bahwa persoalan pada pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda memiliki masalah yang cukup banyak salah satunya adalah tidak bisa memenuhi hak dan kewajibannya sebagai pasangan suami istri. Masalah ini terjadi karena faktor kurang siapnya mental mereka para pasangan muda ini untuk dapat mengontrol tingkat keegoisan mereka yang sangat tinggi. b. Dampak terhadap anak-anaknya perkawinan yang dilangsungkan pada usia muda atau dibawah umur tentunya akan membawa dampak, dampak yang ditimbulkan bisa berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda juga dapat berdampak pada kehidupan anak-anaknya. Karena pada dasarnya bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah usia 20 tahun, bila hamil kemungkinan akan mengalami gangguan pada kandungannya. c. Dampak terhadap masing-masing keluarga Perkawinan usia muda selain berdampak pada pasangan suami istri dan anak-anaknya juga tidak memungkiri dapat memberikan dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila pada saat perkawinan diantara anak-anak mereka berjalan lancar tentunya akan berdampak positik dan menguntungkan masing-masing keluarga. Namun apabila terjadi sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya terjadila perceraian, hal ini yang akan berdampak buruk bagi masing-masing keluarga karena bertambahnya biaya hidup mereka dan yang paling mengkawatirkan adalah memutuskan kekeluarga antara kedua belah pihak. Pada kehidupan rumah tangga, suami dan isteri harus tepat dan siap mental terhadap semua kewajiban yang akan dilakukan jika berumah tangga nanti, sehingga tidak mudah bagi anak yang belum dewasa untuk melangsungkan perkawinan tanpa memikirkan hal apa saja yang akan dilalui saat berumah tangga. Terkait usia perkawinan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam ketentuan tersebut semakin menegaskan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam hidup berumah tangga dipastikan akan mengalami yang namanya persoalan-persoalan rumah tangga tanpa adanya kedewasaan dari diri orang tersebut persoalan-persoalan yang muncul dalam rumah tangga pastinya akan ditanggapi dengan emosi, karena untuk mencapai perkawinan yang sukses dilatarbelakangi oleh kedewasaan dan kematangan dari segi fisik, segi mental, dan segi emosianal dari calon suami istri yang hendak atau akan melangsungkan perkawinan. Terkait hal ini kematangan fisik dan mental memang penting karena seperti yang sudah dibahas perkawinan memiliki tujuan yang baik yaitu untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, salah satunya adalah perkawinan harus berakhir dengan bahagia bukan harus berakhir dengan sebuah perceraian karena mungkin disebabkan oleh ketidastabilan emosi dan tidak matangnya jiwa atau emosional dan fisik dari suami dan istri. Karena dalam perkawinan juga bakal muncul emosi yang akan menentukan seberapa tingkat kedewasaaan suami atau istri dalam menanggapi persoalan-persoalan rumah tangga yang ada dan memberikan solusi atau jalan keluar yang terbaik dalam menghadapi persoalan-persoalan rumah tangga. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, Salah satu syaratnya adalah untuk Indonesia umur minimal untuk menikah adalah 19 tahun untuk pria dan wanita. Dalam hal-hal tertentu, permohonan dispensasi perkawinan dapat diberikan. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Berdasarkan hasil dan data penelitian di Pengadilan Agama Lumajang, dapat diketahui bahwa pada periode tahun 2019 terdapat permohonan dispensasi perkawinan sebanyak 335 dan dikabulkan sebanyak 334 dispensasi perkawinan. Sementara untuk tahun 2020 adalah sebanyak 1.424 dan dikabulkan sebanyak 1.040 dispensasi perkawinan. Untuk tahun 2021 adalah sebanyak 903 dan dikabulkan sebanyak 898 dispensasi perkawinan dan tahun 2022 adalah sebanyak 856 dan dikabulkan sebanyak 849 dispensasi perkawinan. Berdasarkan data dispensasi perkawinan tersebut jumlah dispensasi perkawinan bagi anak di Kabupaten Lumajang masih relatif cukup tinggi khususnya pada tahun 2020 dan 2021 dimana saat itu terjadi pandemi Covid 19.. Saran yang dapat diberikan bahwa, Pertama Kepada masyarakat Indonesia hendaknya dapat menyadari dampak negatif adanya prnikahan di bawah umum sehingga hendaknya dipikirkan terlebih dahulu sebab akibat dan kesiapan mental bagi anaknya atau kesiapan mental bagi calon suami dan calon istri jika akan melangsungkan perkawinan dengan usia yang melenceng dari ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan karena setidaknya kita sebagai Warga Negara yang baik akan lebih baik jika mematuhi Hukum yang berlaku di Negara kita sendiri. Kedua Kepada pemerintah juga sebaiknya merekronstrusksi usia perkawinan dalam Hukum Nasional yang ideal untuk melangsungkan perkawinan sehingga dapat digunakan oleh hakim dalam mengabulkan dispensasi perkawinan. Dan juga penyeragaman batas usia dewasa dalam perundang-undangan di Indosesia. DAFTAR PUSTAKA Buku/Literatur : Abdullah Siddik, 1997, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Tinta Mas Indonesia Ahmad Azhar Basyir, 2000, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta Benyamin Asri, 1988. Tanya Jawab Hukum Perkawinan Islam. Tarsito, Bandung Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Perkawinan Adat, Jakarta, Harvarindo Kamal Muchtar, 1998, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Citra Aditya Bakti, Bandung K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Mohd. Idris Ramulyo, 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam. Sinar Grafika, Jakarta. Sulaiman Rasyid, 1987, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, Hidakarya Agung Sumijati, 1990, Hukum Perkawinan Islam, Bandung, Sumber Ilmu Peraturan Perundangan-undangan : Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1989 Nomor 49 Undang–Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam Suwarjoko, Masalah Lalu Lintas dan Penanganannya, Jakarta, Bina Insan Media, 2016 B. Peraturan Perundang-Undangan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XVI/2018

Item Type: Thesis (Undergraduate)
Subjects: 300 Social Science > 340 Law
Depositing User: M. FAIQUL HAMMAM NOVRIYANSYAH
Date Deposited: 12 May 2023 06:49
Last Modified: 17 May 2023 01:25
URI: http://repository.unmuhjember.ac.id/id/eprint/16945

Actions (login required)

View Item View Item